Aku
membaca kembali surat itu, sebelum akhirnya benar benar aku kirimkan padanya. .
. .
Sekitar
7 tahun yang lalu, aku bertemu dengannya secara tidak sengaja, saat dia datang
ke kotaku sebagai siswa pertukaran pelajar disekolahku, dari sekian banyak
siswa dikelas aku mendapatkan kesempatan duduk sebangku dengannya, hal itu
karena dua tahun sebelumnya aku juga pernah mewakili sekolahku mengikuti
program pertukaran pelajar. Selama hampir tiga bulan, kami berteman dan belajar
bersama, meskipun pada awalnya dia adalah orang yang sangat asing bagiku,
tetapi ternyata tidak membutuhkan waktu lama untuk kami bisa dekat dan merasa
nyaman satu sama lain, oh iya aku juga biasa memanggilanya dengan panggilan
Unno, meskipun itu bukanlah namanya yang sesungguhnya, tapi nama itu sudah
cukup mewakili namanya yang sebenarnya.
Sudah
7 tahun berlalu, aku sangat penasaran bagaimana keadaannya saat ini …
Sepulangnya
dari mengirimkan suratku itu melalui kantor pos, aku mulai merapikan beberapa
pakaian dan perlengkapan lain yang akan aku butuhkan untuk perjalananku pergi
menemuinya nanti, sudah beberapa minggu ini aku sengaja mengambil waktu lembur
agar bisa mendapatkan ijin cuti dati tempatku bekerja. Pakaian, biaya perjalan,
hingga kesiapan mental dan fisik semuanya sudah benar benar aku perhitungkan,
dan tinggal menunggu beberapa hari lagi, akhirnya aku akan terbang untuk
menemuinya.
Aku
tersenyum kecil membayangkan bagaimana pertemuan kami nanti…
Apakah
dia sudah mendapatkan surat yang aku kirimkan padanya beberapa hari yang lalu ?
apakah dia akan datang dan menyambutku dibandara ? aku memandangi selembar foto
yang mulai pudar ditanganku, 7 tahun bukanlah waktu yang singkat untuk
menghapus tentangku diingatannya bukan ? tapi aku tidak pernah melupakannya,
maka dari itu aku yakin dia juga tidak akan melupakanku.
Setelah
berjam jam di pesawat, akhirnya aku tiba di kota kelahirannya, satu hal yang
aku pikirkan saat ini ialah berharap dia benar benar akan datang menungguku
diluar sana. Tapi …aku sama sekali tidak melihat sosoknya ! bahkan aku tidak
menemukan seorangpun dengan wajah mirip dirinya seperti yang ada pada foto yang
kubawa, jujur aku kecewa dengan imajinasi ku sendiri, tanpa buang waktu aku
segera menuju parkiran taksi dan minta diantarkan kesebuah alamat, ya 7 tahun lalu
dia memberikan alamat itu padaku. Meskipun awalnya beberapa dari mereka menolak
untuk mengantarkanku, akhirnya ada seorang pengemudi taksi yang mengaku bahwa
ia mengenal daerah tersebut, ah
syukurlah aku cukup lega.
Taksi
yang aku naiki ternyata langsung mengambil jalur bebas hambatan, sekitar 50
menit kemudian aku sudah sampai disebuah perkampungan kecil yang padat dengan
rumah rumah bergaya tradisional dan memiliki jalanan sedikit berbukit dan
berliku, namun begitu, kampung ini tetap terlihat indah dan sangat bersih, pengemudi
taksi itu mengatakan padaku bahwa dari sini, aku cukup berjalan sedikit kearah
jalan berbukit didepan kami, lalu akan akan segera tiba dialamat tersebut,
setelah membayar ongkos taksi dan mengucapkan terima kasih padanya, aku langsung
menarik koperku, tak lupa juga aku mengencangkan tali sepatuku. Tidak seperti
yang aku duga ternyata cukup sulit menemukan alamat yang aku cari, sialnya lagi
aku tak menemukan seorang wargapun yang bisa aku tanyai tentang alamat ini,
terik matahari dikota ini pada tengah tahun seperti ini, ternyata tidak kalah
teriknya seperti dikotaku. Meskipun jalanan berbukit yang seakan tanpa ujung
terbentang didepan mataku, aku tetap menyapu pandanganku dan membaca satu
persatu tanda alamat yang tertera pada tembok depan disetiap bangunan rumah
yang aku lalui, sudah cukup lama aku mencari bahkan rasanya aku ingin menyerah,
hingga akhirnya aku menemukan sebuah toko kecil dan memutuskan untuk sejenak
beristirahat disana, kebetulan ada tempat duduk kecil didepan toko itu, setelah
meneguk habis minumanku, tak lupa aku menanyakan alamat yang aku cari, dan
…betapa bahagianya aku saat si penjaga toko mengatakan bahwa tempat aku berdiri
saat inilah alamat yang aku cari ! hal yang sangat tidak pernah aku duga
sebelumnya. Tapi ternyata senyum dibibirku hanya bertahan beberapa detik saja,
karena sipenjaga toko mengatakan bahwa tak ada seorangpun yang seusiaku yang
tinggal disana, lalu tiba tiba dia juga mengatakan bahwa dia juga menerima
sebuah surat yang ditujukan pada alamat toko ini padaku, astaga ! ternyata
surat itu adalah surat yang aku kirimkan beberapa hari yang lalu ! rasanya saat
ini tiba tiba sebuah batu berukuran raksasa jatuh tepat diatas kepalaku…
barulah aku tahu darinya bahwa ternyata keluarga pemilik bangunan ini yang
sebelumnya, sudah pindah kekota sekitar 2 tahun yang lalu, aku langsung merasa
putus asa dan kecewa bukan main, parahnya lagi dia tidak mengetahui alamat
persis tempat tinggal mereka saat ini !
Aku
mendesah nafas panjang, …kecewa …kesal …putus asa dan berbagai macam hal
berputar dikepalaku, bagaimana nasibku disini selanjutnya ?
Hari
mulai beranjak gelap, dengan langkah lunglai tanpa semangat dan terus berpikir
keras, aku melangkahkan kakiku menuju halte bis terdekat. Ya Tuhan …bagaimana
ini ? apakah aku harus menyerah sampai disini dan kembali ke bandara saja ?
disisi lain, aku juga tak tahu harus bermalam dimana, karena mulanya aku
berpikir akan bisa langsung bertemu dengannya.
Bis
yang aku tunggu tak juga datang, dari kejauhan aku baru menyadari ada sebuah
kantor polisi kecil tak jauh dari halte tempatku menunggu saat ini. Aku
beranikan diri melangkah dan menyeberangi jalanan yang mulai sepi didepanku, pikirku
akan ada secercah harapan jika aku menanyakan hal ini pada mereka, benar bukan
?
“maaf, apakah kami bisa melihat kartu identidas anda ?”
“maaf, apakah kami bisa melihat kartu identidas anda ?”
ya,
sudah kuduga mereka tidak akan langsung begitu saja mempercayai orang asing
sepertiku menanyakan sebuah alamat dan memberitahuku begitu saja, jadi aku
langsung menunjukan semua surat yang berhubungan dengan data diri yang aku
bawa, setelah itu mereka juga menanyakan beberapa pertanyaan padaku, seperti
apa hubunganku dengan pemilik alamat tersebut, hingga apa alasanku sampai jauh
jauh datang kesini. Sekitar setengah jam berlalu, mereka menyambungkan sebuah
nomor telpon padaku yang mereka yakini itu adalah nomor telpon dari alamat baru
orang yang aku cari, satu kali, dua kali, hingga yang ketiga kalinya, ternyata
tetap saja tidak ada jawaban dari nomor telpon tersebut, aku kembali putus asa
dan tanpa aku sadari waktu saat ini juga telah menunjukan lewat dari pukul 9
malam. Aku terduduk lemas disebuah kursi yang ada disalah satu sudut kantor
polisi tersebut, aku tidak tahu lagi harus bagaimana mengusahakannya, hingga
seorang polisi watina menghampiriku dan menawarkanku sepotong roti serta
sebotol air mineral padaku, “hai boleh aku menanyakan sesuatu padamu ?” ucapnya
ramah tersenyum padaku, baiklah setidaknya aku tidak benar benar merasa
terasing disini, “dari alamat yang kau cari, sepertinya aku mengenal salah satu
dari penghuni sebelumnya yang tinggal disana” lanjutnya kemudian, mataku
langsung terbuka lebar terbelalak tak percaya, “benarkah ?” tanyaku, aku tak bisa
lebih sabar menanti kalimat berikutnya dari polisi wanita muda itu, “aku Rei,
dulu aku berteman dengan salah seorang anak dari keluarga itu, kalau tidak
salah dia memiliki seorang kakak perempuan yang usianya beberapa tahun
diatasnya. Dan aku dengar beberapa tahun yang lalu mereka sekeluarga pindah ke
kota” cerita polisi yang bernama Rei itu padaku, “apakah kau mengetahui alamat
mereka ?” tanyaku menggebu, “hmm, sayang sekali sejak mereka pindah, berita
yang terakhir aku dengar saat ini mereka hidup dengan sangat baik, dan akan
sedikit sulit jika kita ingin menemui mereka” ujarnya bercerita yang tanpa
sadar kembali membuatku putus asa, “tapi…” polisi itu kembali membuka suaranya,
“…aku mengetahui dimana temanku itu bekerja. Ya sebenarnya aku dan temanku itu
dulunya berteman cukup dekat karena kami sama sama tergabung dalam kelompok
drama sekolah” ceritanya padaku lalu memberikan sebuah alamat padaku, “kau bisa
bermalam dirumahku malam ini, butuh waktu sekitar 2 jam jika berangkat
menggunakan bis kesana, kau bisa mencoba mendatangi alamat itu besok, bagaimana
?” ujarnya yang saat ini justru menawarkanku untuk bermalam ditempatnya, ”benarkah
? apakah itu tidak akan merepotkanmu ?” tanyaku mulai bersemangat lagi, tentu
saja aku sangat membutuhkan alamat yang dia berikan, tapi aku lebih membutuhkan
tempat untuk bermalam saat ini, “tentu saja, ini juga termasuk tugasku sebagai
pelayan masyarakat, lagi pula aku yakin kau bukan orang jahat” jawabnya lagi.
Satu
jam kemudian tepatnya pukul 10 malam, kami berjalan pulang menuju rumahnya,
tentu saja kami melewati jalanan berbukit dan menanjak yang sama dengan yang
aku lalui siang hari tadi, jujur kakiku sebenarnya sudah tidak sanggup lagi
berjalan, belum lagi aku harus menarik koper dan menggendong ranselku. “maaf,
aku hanya punya ini, kau pasti lapar bukan ? aku akan memasakannya untukmu,
sekarang kau mandi dan segera ganti pakaianmu” ujarnya padaku saat kami sudah
tiba ditempat tinggalnya, dan mempersilahkanku menggunakan kamar mandi
miliknya.
Setelah
selesai mandi dan berganti pakaian, saat ini kami duduk berhadapan dilantai
persis didepan kami ada sebuah meja kecil dengan dua mangkuk mi instan
diatasnya, dengan asap yang masih mengepul diudara, “ayo makan, kau pasti
lapar” ujarnya padaku, “terima kasih, selamat makan” balasku padanya, beberapa
menit kemudian aku melihat tatapannya tertuju pada ponselku yang terletak tak
jauh dari piring makanku, lalu tanpa bicara dia langsung mengambil selembar
foto yang berada persis dibawah ponselku, tentu saja itu fotoku bersama Unno,
“oh, kau kah ini ? bagaimana bisa kau ada di foto ini bersamanya ?” tanya Rei
kaget saat melihat foto yang pudar ditangannya, “oh…Unno. Jika kau menanyakan
hal itu, karena dialah aku berada sidini saat ini, aku kesini karena ingin
bertemu dengannya. 7 tahun yang lalu kami bertemu saat dia menjadi siswa
pertukaran disekolahku” jawabku yang ikut mengambil jeda untuk menyeruput sup
dari mi instan ku, “Unno ? ah mungkin kau lupa, tapi tadi aku sudah mengatakan
hal ini padamu bahwa aku berteman dengan anak laki laki dari keluarga pemilik
alamat yang kau cari itu. Tapi apakah kau yakin ?” sahutnya panjang, tersirat
sedikit kekhawatiran dibalik kalimatnya, “maafkan aku, jadi kau mencari siswa
laki laki yang ada di foto ini ?” tanya Rei lagi, jujur aku tidak mengerti apa
maksud pertanyaannya, tapi tentu saja, aku jauh jauh kesini memang untuk
menemuinya. Seorang teman yang sangat aku rindukan, seseorang yang meski hanya
100 hari aku kenal sekitar 7 tahun yang lalu, “ada apa ? apakah ada sesuatu
yang tidak aku ketahui ?” tanyaku padanya, “hmm …aku tidak terlalu yakin. Hanya
saja pertama dia bukan Unno, takkan ada yang mengenalinya jika kau menanyakan
tentang seseorang dengan nama Unno, namanya tidak hanya sesederhana itu, kau
pasti tahu bukan ? dan, tanpa bermaksud membuatmu putus asa, aku juga akan ikut
mendoakanmu agar kau berhasil menemuinya besok. Tunggu, aku akan memperlihatkan
foto alumni angkatan kami dan padamu” ucapnya semakin membuatku penasaran, aku
duduk diam menunggunya mencari buku yang dia maksud diantara jajaran buku pada
arak yang menjadi sekat antara ruang makan dan kamar tidurnya itu, tak ada
sedikitpun lagi rasa lapar diperutku, yang ada aku hanya ingin segera
mengetahui informasi tentang Unno dari Rei, “jadi ternyata saat itu dia pergi
mengikuti pertukaran pelajar disekolahmu ?” tanya Rei saat kembali duduk
didekatku sambil membuka sebuah buku hitam cukup tebal ditangannya, “ya, kami
berteman cukup baik, maka dari itu sebelum dia pergi dia memberikanku alamatnya
padaku dan mengatakan padaku bahwa dia akan menunggu kunjunganku kerumahnya
suatu hari nanti. Sayangnya saat itu juga terakhir kalinya kami saling
berbicara satu sama lain, aku bahkan tak menyangka perlu waktu hingga 7 tahun
untuk aku bisa pergi mengunjunginya” jawabku sedikit bercerita, “benarkah
begitu ? hm …nah ini dia” jawab Rei singkat lalu menunjukan padaku sebuah foto
siswa laki laki berseragam sekolah di dalam buku itu, “ya benar itu Unno”
jawabku membenarkan sembari membandingkan foto itu dengan selembar foto
ditanganku, dibuku itu terpasang foto seorang murid laki laki dengan garis
wajah yang tegas dan senyum tipis dibajahnya tengah menggunakan seragam sekolah
dari sekolah asalnya, dia terlihat jauh lebih tampan dengan jas sekolah
berwarna biru gelap difoto itu jika dibandingkan dengan fotonya saat
menggunakan seragam kemeja putih dengan dasi panjang berwarna nudy has seragam
sekolahku dulu, disamping foto itu tertera sedikit biodata singkat tentangnya
dan beberapa prestasinya selama disekolah. Jika diingat, tepat satu tahun
setelah masa pertukaran pelajar selesai adalah masa kelulusan bagi kami, jadi bisa
dipastikan foto ini diambil satu tahun setelah kami berpisah, alias enam tahun
yang lalu, “dia adalah salah satu siswa yang popular disekolah, entahlah
mungkin karena dia cukup berprestasi dan bagi beberapa siswa perempuan seperti
kami, wajahnya juga cukup tampan. Hha…” kenang Rei bercerita tanpa aku minta,
“benar, dia juga cukup populer saat dia datang kesekolah kami” sahutku setuju
dengan kalimatnya, “apakah kau yakin akan tetap mencarinya ? sayang sekali
besok aku harus bekerja, kalau tidak aku pasti akan menemanimu mencari alamat
itu” tanya Rei padaku, “jangan khawatir, aku rasa aku sudah terlalu banyak
merepotkanmu” jawabku mencoba tersenyum. Tak terasa malam semakin larut,
obrolan kami tentang Unno juga berlahan berakhir, malam itu setelah aku
mengirimkan email melalui ponselku pada keluargaku dirumah dan mengatakan
kepada mereka bahwa aku baik baik saja disini, akupun berusaha menutup mataku
dengan tak lupa berdoa dan juga berharap semoga besok aku bisa segera bertemu
dengannya.
Pukul
9 pagi, aku kembali melewati jalanan berbukit ini, entah sudah untuk keberapa
kalinya, dan tentu saja masih dengan menarik koper serta menggendong ransel
milikku, “baiklah kau bisa menunggu disini, jangan lupa kau harus menaiki bis
dengan kode S, dan turun pada
pemberhentian terakhir” pesan Rei sekali lagi padaku agar aku tidak salah
menaiki bis. Setelah bersalaman dia lalu memelukku sebagai tanda perpisahan,
setelah itu ia pun langsung menyeberangi jalanan menuju tempatnya bekerja,
“terima kasih Rei, aku tidak akan pernah melupakan kebaikanmu !” teriakku
sembari melambaikan tangan padanya yang perlahan menjauh, ‘huhfft …’ ku tarik nafas panjang dan meniupnya dengan berat,
kupersiapkan diriku lagi untuk melanjutkan perjalananku hari ini seorang diri
lagi seperti semula, ditempat yang benar benar asing seperti ini.
Sekitar
setengah jam kemudian, akhirnya bis yang kutunggu datang dan berhenti tepat
didepanku, setelah sedikit kesulitan mengangkat koperku ke atas bis, akhirnya
aku bisa duduk dengan nyaman disalah satu kursi dengan posisi yang persis
berada disisi jendela, tempat yang pas untukku agar dapat melihat lihat
pemandangan diluar selama perjalanan. Aku kembali memandangi fotoku dan Unno,
Tuhan apakah dia juga merindukanku saat ini ? dan lagi lagi perhatianku tertuju
pada amplop coklat muda yang berisi surat yang aku tuliskan untuknya, tak
pernah aku duga sebelumnya bahwa surat yang sudah aku kirimkan ini akan kembali
lagi ketanganku. Sengaja aku tidak membukanya sama sekali, aku masih berharap
untuk bisa memberikan surat ini padanya dan membiarkan dia membaca sendiri surat
ini. Selama 2 jam diperjalan, dengan perasaan yang campur aduk dan berbagai
macam pikiran dibenakku, tentu bukanlah perjalanan yang singkat untukku lalui
pagi ini, meski mataku sesekali terasa berat dan hampir saja aku tertidur
karena bosan, tapi rasanya aku tak punya keberanian untuk sejenak saja menutup
mataku selama perjalanan, ‘Unno,
tunggulah kita akan bertemu sebentar lagi …’ bisikku dalam hati dan lagi
lagi tersenyum memandangi foto kami.
Akhirnya,
bis yang membawaku sampai di pemberhentian terakhir, berdasarkan informasi yang
ku dapat dari seorang petugas informasi disana, dari terminal ini aku cukup
melanjutkan perjalan dengan menaiki kereta cepat jalur G dan keluar dapi exit
selatan setelah 2 kali pemberhentian. Entah kenapa, langkah kakiku mulai terasa
ringan saat ini, bayangan tentang aku akan segera bertemu dengannya benar benar
membuatku bersemangat dan tidak lagi aku merasa ragu untuk melangkah. Setelah
berhasil membeli tiket dari sebuah mesin otomatis, aku mengikuti petunjuk arah
menuju kereta bawah tanah di jalur G. seperti yang sudah direncanakan, aku
turun pada pemberhentian kedua dan segera menuju ke exit selatan, tak lupa aku
kembali memastikan pada bagian informasi apakah lokasi ini sudah benar sesuai alamat
yang aku tuju. Syukurlah, petugas tersebut mengatakan padaku bahwa aku sudah
berada ditempat yang banr, aku cukup berjalan sekitar 500 meter dari exit
selatan tersebut hingga aku menemukan sebuah persimpangan, lalu persis
disebelah kanan persimpangan itulah bangunan yang aku cari berdiri. Wah, andai
saja aku mengetahui hal ini jauh lebih awal, mungkin sejak kemarin aku sudah bisa
bertemu dengannya....
. . . . [tbc]
Komentar
Posting Komentar